KATA PENGANTAR
Bismillahhirohmannirohim,
alhamdulillah. Segala puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT,
sebagaimana telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami dalam penyelesaian tugas
ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar. Kami juga berterima
kasih kepada Bp. Muhtar Wahyudi, S.Sos, MA, selaku dosen pengapu, yang tellah
membimbing kami dalam penyeleaian tugas ini.
Dengan
judul makalah Aliran Hermeneutik, dan
memiliki bab, diantaranya: profil tokoh, pemikiran tokoh, kritik pemikiran,
kesimpulan. Makalah ini dibuat bertujuan untuk melengkapi nilai tugas dari mata
kuliah Filsafat Ilmu, dengan Bp. Muhtar Wahyudi, S.Sos, MA, selaku dosen mata
kuliah. Kami juga berterimakasih kepada rekan-rekan kami yang mendukung dalam
pembuatan makalah ini.
Makalah
ini sangat jauh dari kesempuranaan, kami selaku penyusun meminta maaf jika
dalam penyebutan maupun penulisan kata dalam makalah terjadi kekeliruan. Dan
kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Demi kebaikan
makalah ini, dan demi kebaikan dalam penyusunan makalah berikutnya.
Bangkalan,
November 2012
Penyusun
LATAR BELAKANG
Kata
hermeneutika berasala dari kata Yunani: hermeneuein
yang diartikan sebagai: menafsirkan dri kata bendanya hermeneia artinya
tafsiran. Hermeneuein sendiri mengandung tiga makna yaitu: to say (mengatakan);
to explain (menjelaskan); to translate (menerjemahkan). Yang kemudian ketiga
makna ini diserap ke bahasa Inggris menjadi to interpet. Otomatis kegiatan
interpretasi menunjukan pada tiga hal pokok yakni: an oral recitation
(pengucapan lisan); a reasonable explanation (penjelasan yang masuk akal); a
translation from another language (terjemahan dari bahasa
lain/mengekspresikan).
Sebelum
kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu
asal-mula kata hermneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunanai
tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada tuhan dalam
bentuk mitiologi. Sebenarnya dalam itiologi Yunani terdapat dewa-dewi yang
dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes
dipercayai sebagi utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di
langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Kata
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Peroalan
hermeneutika terletak pda pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif . perbedanna penekanan
pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, dan pembaca,
menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis,
hermeneutika filosofi, dan hermeneutika kritis. Hermeneutika teoritis, bentuk
hermeneutika seperti ini meneitik beratkan kajiannya pada problem
“pemahaman”,yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadia
tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki
penggagas. Hermeneutika filosofis, problem utama hermeneutika ini bukanlah
bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika
teoritis. Problem utamanya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri.
Hermeneutika kritis, hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di
balik teks. Hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks
sebaga problem hermeneutiknya.
Werner
G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya
hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: pertama milieu
masyarakat yang terpengaruh oleh
pemikiran Yunani. Kedua milieu masyarakat Yahudi dan kristen yang menghadapi
masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok
untuk interpretasi untuk itu. Ketiga milieu masyarakat eropa di zaman Pencerahan
(Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa
hermeneutika keluar konteks keagamaan.
PERMASALAHAN
1.
Biografi tokoh aliran hermenutika
2.
Pemikiran-pemikiran tokoh hermenutika
3.
Kriktik terhadap pemikiran tokoh
4.
Kesimpulan aliran hermeneutika
BAB 1 BIOGRAFI TOKOH
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher (1768 -- 1834) adalah anak seorang pendeta tentara
di Silesia Utara. Kedua orang kakeknya juga pendeta. Ayahnya yang memiliki
kecenderungan pietis (gerakan yang menekankan doktrin alkitabiah, kesalehan
pribadi, dan kehidupan Kristen yang berkobar-kobar) yang kuat, mengirimnya ke
seminar Moravian di Barby dengan harapan supaya segala kecenderungan ini akan
bertambah berkembang di dalam diri anaknya.
Cukup
mengherankan, dia pernah dianjurkan membaca karya Kant sebagai suatu penangkal
terhadap liberalisme modern, tetapi hal tersebut memberikan reaksi yang
berbeda. Dia memberikan reaksi melawan pendidikannya yang pietis.
Pada masa
hidupnya kemudian, Schleiermacher menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang
Moravian yang lebih tinggi. Pada saat itu, pemikirannya telah mengalami banyak
perubahan, dan ia berusaha keras menggabungkan tekanan pengalaman agamawi
orang-orang pietis injili dengan sikap moderat liberal terhadap kekristenan,
yang dianjurkan oleh kaum terpelajar pada zamannya.
Ketika itu
Schleiermacher belajar di Halle (kemudian menjadi pusat pemikiran radikal di
Jerman) dan Berlin. Sesudah masa tugas sebagai seorang guru pribadi, dia
kembali ke Berlin sebagai pendeta dari Rumah Sakit Charity, dan diterima di
sebuah perkumpulan para penulis dan pujangga Romantik. Kelompok itu memberontak
melawan pandangan-pandangan rasionalis dari Pencerahan, dan menekankan peranan
misteri, imajinasi, serta perasaan. Dalam periode inilah Schleiermacher
menerbitkan bukunya yang terkenal, "On Religion: Speeches to its Cultured
Despisets" (1799).
Pada tahun
1804, dia kembali ke Halle sebagai seorang profesor. Tetapi peperangan Napoleon
mengharuskannya untuk berdiam di Berlin, sebab perjanjian perdamaian Peace of
Tilsit memutuskan hubungan Halle dari wilayah-wilayah Prusia lainnya. Di
Berlin, Schleiermacher meneguhkan dirinya sebagai salah seorang dari tokoh
intelektual terkemuka dari negaranya. Dia memainkan peranan terpenting dalam
pembentukan Universitas Berlin tahun 1810 dan memimpin fakultas teologinya.
Tetapi teologi bukan satu-satunya minatnya.
Beberapa
jilid terjemahan dari Plato yang dikerjakannya untuk waktu yang lama, menjadi
edisi baku di Jerman. Aliran karangan atau tulisan-tulisan yang dipelajari
terus-menerus mengalir dari penanya, banyak di antaranya mula-mula muncul dalam
bentuk naskah-naskah yang dipersembahkan kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Prusia
(Prussian Academy of Sciences). Selama waktu itu, Schleiermacher melayani
secara tetap di Trinity Church yang moderat di Berlin.
Karya-karya Schleiermacher yang dikumpulkan di Jerman
setelah ia meninggal terdiri dari tiga puluh jilid (hampir terbagi rata antara
khotbah-khotbah, tulisan-tulisan teologis, dan tulisan-tulisan filsafat). Ini
semua mencakup sebuah buku berjudul "Life Of Jesus". Karya yang
paling penting di antara semuanya adalah sebuah buku yang berusaha memaparkan
secara sistematis pendekatan baru Schleiermacher terhadap kekristenan,
"The Christian Faith" (1821-22, 1830-31/2).
Wilhelm Dilthey
Wilhelm Dilthey lahir pada tanggal 19 November 1833 di Biebrich am Rhein Jerman, dua tahun selah Hegel meninggal dunia. ayahnya adalah seorang pendeta Protestan di Biebrich dan ibunya adalah seorang putri dirigen dan karenaya menjadi penggemar musik juga. dilthey mewarisi sifat musikal ibunya itu dan sangat piawai dalam komposisi dan permainan piano.
Setelah menyelesaikan pendidikan lokal, Dilthey meneruskan pendidikan lanjutan di Weisbaden dan pada tahun 1852 pergi ke Heidelberg untuk belajar teologi di sana. satu tahun kemudian ia pindah ke Berlin karena ia sangat tertarik pada kekayaan budaya kehidupan di kota tersebut, dan terutama pada musik.
Selama Dilthey menjadi mahasiswa ia sangat tertarik pada karya Schleiermacher dan ia mengagumi seluruh kehidupan intelektualnya. Dilthey kagum pada Schleiermacher terutama karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya karya kefilsafatan. serta kagum pada kerya terjemahan serta interpretasinya atas dialog Plato. Bahkan tidak lama kemudian Dilthey mendapat dua piagam penghargaan atas pengetahuannya tentang Schleiermacher sehingga ia mampu membuat sebuah esai tentang hermeneutika. inilah awal mula karir Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf.
Pada tahun 1864 Dilthey memperoleh gelar Doktor dan tetap mengajar di Berlin. Namun tidak lama kemudian ia pindah ke Basel dan memperoleh kedudukan yang cukup baik di sana.
Pada tahun 1868 ia meninggalkan Basel dan menjadi Profesor pada sebuah Universitas Kiel. di Kota Keil ternyata hidupnya tidak begitu mujur, ia terlibat kasus cinta segitiga dengan Marianne dan Lotte Hegewisch. Pada tahun 1871 Dilthey pindah ke Breslau untuk menjadi guru besar di sana. Namun pada tahun 1882 ia pada akhirnya kembali ke Berlin dan disini karir kefilsafatannya menanjak. Pada tahun 1896 ia terserang penyakit yang disebutnya sendiri dengan istilah “nervous origin” serta tekanan gejala “insomnia”. Suatu hari Dilthey berlibur dan menginap di sebuah hotel di Seis di mana ia terserang infeksi dan meninggal dunia pada tanggal 30 September 1911.
Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei1976 pada
umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas
Freiburg di bawah Edmund Husserl,
penggagas fenomenologi,
dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia memengaruhi banyak
filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans
Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo
Strauss, Xavier
Zubiri dan Karl
Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre,Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc
Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam.
Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari
pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis,
artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada.
Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dariNationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Heidegger
dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang
pendeta. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh Aristotelesyang
dikenalnya lewat teologi Kristen.
Konsep tentang Ada, dalam pengertian tradisional ini, yang berasal dari Plato, adalah perkenalan
pertamanya dengan sebuah gagasan yang kelak ditanamkannya pada pusaat karyanya
yang paling terkenal, Being
and Time(bahasa Jerman: Sein und Zeit) (1927).
Keluarganya tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia
membutuhkan beasiswa. Untuk maksud tersebut, ia harus belajar agama. Heidegger
juga tertarik akan matematika. Ketika ia belajar sebagai mahasiswa, ia
meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, karena ia menemukan sumber
pendanaan lain untuk studinya. Ia menulis disertasi doktoralnya berdasarkan
sebuah teks yang saat itu dianggap sebagai karya Duns Scotus,
seorang pemikir etika dan keagamaan abad ke-14,
namun belakangan orang menduga itu adalah karya Thomas dari Erfurt.
Heidegger
mulanya adalah seorang pengikutfenomenologi.
Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha
memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi
teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara
Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi
seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang
"Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai
sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran
utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh
Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dariPlato hingga Descartes,
dan belakangan ini pada Masa Pencerahan.
Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian
menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk
kita pahami.
BAB II PEMIKIRAN TOKOH
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher,
seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun
1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar
tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru
dalam teori penafsiran. Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi
rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia
dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan
persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak
Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Schleiemecher menandai
lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun
eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi
bagi semua ragam interpretasi teks.
Schleiermacher
mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks.
Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah
makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai
“makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk
kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan
kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang
merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah
lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus
berubah dari waktu ke waktu? Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis
sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk
mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel
menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dalam pandangan
Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan
untuk mengembangkan teori umum mengenai
pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan
usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang
tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan
kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang
umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika
universal (universal hermeneutics).
Schleirmacher
telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait
mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang
lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian
sedemikian meluas dan membentang,
sehingga diperlukan ilmu yang mencegah
kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman
teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran
tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran
psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. Tugas kaedah
hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks
seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami
oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas itulah yang
kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Jadi, bukan
saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan ucapan,
tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the
part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang
interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa
memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan
memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.
PENDEKATAN
SCHLEIERMACHER
Istilah
teologi natural pada dasarnya merupakan suatu jalan buntu ke arah mana
Schleiermacher tidak mau berspekulasi. Kant mengungkapkan alasan-alasan muluk
tentang teologi-teologi itu, namun alternatif Kant sendiri lebih baik. Itu
bukanlah agama yang riil dan hidup. Sebaliknya, Schleiermacher merasa bahwa dia
tidak dapat lagi membicarakan Alkitab sebagai suatu kisah mengenai campur
tangan Ilahi dan sekumpulan ucapan Ilahi, tetapi lebih merupakan catatan
pengalaman agamawi.
Ide mengenai
pengalaman agamawi merupakan kunci yang digenggam Schleiermacher dengan kedua
tangannya. Nampaknya, bagi dia hal ini bisa membuka kunci setiap masalah
teologis (kecuali yang tiba-tiba muncul di dalam diri kita, yang bagaimanapun
tidak dapat dipecahkan oleh pikiran manusia). Itu berarti bahwa dia tidak perlu
lagi menerima Alkitab dengan serius secara terperinci. Hal itu nampak seperti
membukakan suatu pintu baru untuk apologetika dengan memimpin baik orang yang
percaya maupun yang tidak percaya kepada dasar-dasar permufakatan (yang dapat
diterima bersama) dari pengalaman-pengalaman umum mereka.
Maka apa
yang diupayakan oleh Schleiermacher adalah menganalisa pengalaman agamawi dan
mengentalkannya menjadi esensi agama. Setelah melakukan hal ini, maka dia dapat
menginterpretasikan kembali iman Kristen dalam pengertian yang dapat diterima
oleh orang modern, baik yang berada di dalam maupun yang di luar gereja.
Agama
mencakup segala hal. Ada tindakan-tindakan agama, seperti mengambil bagian di
dalam ibadah dan berbuat baik. Juga ada unsur pengetahuan yang boleh
dikelompokkan di bawah pokok teologi (baik ceramah pelajaran maupun cerita
Alkitab di sekolah minggu). Schleiermacher menyimpulkan bahwa esensi agama
bukanlah kegiatan maupun pengetahuan, melainkan sesuatu yang umum terhadap
keduanya.
Di dalam
"Speeches" dia mendefinisikan hal itu sebagai "pengertian dan
perasaan terhadap Yang Tidak Terbatas". Pada waktu dia mulai menulis
"The Christian Faith", dia dapat menjelaskannya sedikit lebih teliti:
"Unsur
umum di dalam semuanya, biarpun pengungkapan kesalehan bermacam-macam ...
ialah: kesadaran akan perasaan bergantung secara mutlak, atau, yang sama seperti
itu, kesadaran berada dalam hubungan dengan Allah. Esensi agama terletak di
dalam perasaan bergantung mutlak (sense of absolute dependence) di dalam diri
kita."
Di dalam
diri Schleiermacher, ide ini menjadi suatu persamaan pengalaman agamawi dan
juga suatu tongkat pengukur untuk menilai semua pengajaran Kristen lainnya.
Dilengkapi dengan hal itu, Schleiermacher mulai menafsirkan kembali seluruh
jajaran doktrin Kristen. Dia meringkaskan pendekatannya terhadap natur Allah
dengan mengatakan, "Semua atribut yang kita anggap berasal dari Allah
diperlukan bukan untuk menunjukkan sesuatu yang khusus di dalam Allah,
melainkan perasaan bergantung mutlak yang dikaitkan dengan Dia.
"Dosa
ditafsirkan dengan cara yang sama. Dosa bukan begitu banyaknya pelanggaran
terhadap hukum Ilahi, dosa adalah natur manusia yang lebih rendah yang
menginginkan kebebasan pada waktu ia seharusnya terikat. Itu merupakan sesuatu
yang menyelimuti perasaan bergantung mutlak di dalam diri kita. Di dalam bentuk
ekstrimnya, boleh dikatakan "keadaan tanpa Allah (Gottlosigkeit), atau,
lebih baik, keadaan melupakan Allah (Gottvergessenheit)". Penebusan
ditafsirkan sebagai pemulihan akan perasaan bergantung kita.
Maka Penebus
sama seperti semua manusia lainnya dalam kebajikannya, namun berbeda dari
mereka karena tetapnya potensi kesadaran-Nya akan Allah, yang benar-benar
merupakan eksistensi Allah di dalam diri-Nya.
Dengan
perkataan lain, kita tidak berpikir tentang Yesus sebagai manusia-Allah di
dalam iman ortodoksi Kristen, Firman Ilahi yang mengambil natur manusia bagi
diri-Nya sendiri. Yesus adalah seorang manusia yang berjalan demikian dekat
dengan Allah sehingga Anda dapat berkata bahwa Allah tinggal di dalam Dia.
Karya
penebusan Yesus adalah menarik "orang-orang yang percaya ke dalam kuasa
kesadaran-Nya akan Allah". Itu bukanlah menanggung dosa-dosa mereka demi
mereka, melainkan begitu menggerakkan manusia sehingga "prinsip atau
pendirian dasar-Nya kita miliki juga". Schleiermacher tetap memakai
beberapa istilah teologi Kristen yang lebih kuno, tetapi ia memberikan arti
yang diperluas atau hampir diubah sama sekali. Maka pengajarannya mengenai
pendamaian tetap mengandung beberapa kemiripan dengan ortodoksi Protestan. Dia
tetap dapat menulis, "Penerimaan ke dalam hidup persekutuan dengan Kristus
berkenaan dengan perubahan hubungannya dengan Allah.
Dengan
perkataan lain, pendekatan Schleiermacher mengarah kepada suatu bentuk
Unitarianisme. Dia percaya akan Allah. Sebab Allah merupakan tempat di mana
kita merasa bergantung. Tetapi Yesus adalah seorang manusia yang memunyai
pengalaman tingkat yang sangat tinggi, dan Roh Kudus benar-benar merupakan cara
menggambarkan pengalaman kita akan Allah di dalam gereja.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm
adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang
dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal
Jerman.
Bagi filosof
yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh
karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian
awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah
transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin
historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa
setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin
ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan
mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan
obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal
memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu
sosial.
Menurutnya,
dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan
pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of
Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of
Historical Reason.
Wilhelm
Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam
dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek
penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di
luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek,
sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu
sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini
menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek
pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua
disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara
epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren),
yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori.
Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora
mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna
obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan
pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari
ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga,
hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi
sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi
dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong
lahirnya teks
Dilthey
menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften).
Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam
segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori
hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.
Martin Heidegger (1889-1976)
Latar
belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika
dan etika Arisoteles yang diinterpretasikan oleh Husserl dengan metode
fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan
sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran
Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenlogis, mesikipun akhirnya
Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yan dibanun
Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologi karena menyangkut
pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai
ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa
fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang keasdaran
sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjarakan realitas dalam
kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya relaitas sendiri yang menelanjangi
dirinya dihadapan subjek. Bagi Heidegger, relaitas tidak mungkindipaksa untuk
menyingkapkan diri. Relaitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia
menyingkapkan diri.
Heidegger
mengembangkan hermeutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalm
pendangan Heidegger, pemahaman bukanlah sebuah metode. Menurutnya, pemahaman
lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman teleh wujud terlebih dahulu
(pre-reflective undersanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger
menanamkan prapemahaman tersebut sebagai dasain, yang secara harfiah berarti
disana-wujud.
Apa yang
ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam penegrtian
pemahaman yng subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode
pengungkapan relitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manuasia yang
menyingkapa selubung Ada (sein). Ia tidak berada dalam penegertian
subjek-objek, dimana pemahaman tentang objek begkat dari persepsi kategoris
salam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek. Dan sebetulnya term
subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab dasein adalah seinde yang memilki
kemampuan yang lain. Dikatakan dasein karena cara beradanya berbeda dengan
benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana.
Terdapat nuansa
aktifitas dari dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis
mampu keluar dari dirinya sendiri (existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan
adanya seinde lainnya.
Sekalipun
Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau
berpikir dan yang diinterpretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa
dipisahkaan sama sekali.intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi
digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadai
anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang
menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis
karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi)
adalah dasein itu sendiri. Berpikir, dalam penegrtian Heidegger, bukan
menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi,
melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa
hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Heidegger
menghubungkan kajian tentang makana kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks
tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap
kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam
karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensiyang
berhubungan dengan orang dan objek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan
interpretasi yang essensialdan terus-menerus.
Martin
Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap
teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan,
anatara ada atau tidak. Eksistensi,menurut Heidegger bukanlah eksistensi yang
terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran
manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas
teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapakan pengalaman eksistensinya
itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagi unsur
penegas dalam proses memahami suatu teks.
Heidegger
mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada
pengertian bahasa sebagi alat komunikasi saja. Bahsa merupakan artiklasi
eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara
keberadaan,kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahsa
adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh
mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantah Ada itu sendiri.
Hermenutika
Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermenutika yang
berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara
pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua
dengan mengangkat hermenutika pada tataran ontologis.
BAB III KRITIK
Scehleiermacher
- Pemikirannya terlalu mendalam terhadap kajian
teks, yaitu hingga mencoba memahami mental pengarang bahkan memahami
dengan lebih baik dari pengarangnya.
Hal tersebut akan cenderung bersifat subjektif karena setiap individu memiliki
kecondongan intrepetasi yang berbeda
Wilhem Dilthey
- Pemikirannya
meluas dan mnangkup berbagai aspek disiplin ilmu dengan
hermeneutika sebagai fondasi, namun menurutnya “intepreter harus memiliki
kesamaan yang intens dengan pengarang” hal ini dirasa kurang subjektif karen
a cnderung memihak pada pengarang
Martin Heidegger
- Ia
mengembangkan hermeneutika sebagai intrepetasi yang berdimensi ontologis.
Lebih berorientasi kepada pemaknaan daripada pemahaman, meskipun lebih
objektif namun dimungkinkan hal ini
akan menghasilkan info yang implisit
BAB IV KESIMPULAN
- Dari
pemikiran tokoh-tokoh memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu tentang
penafsiran teks. Dimana hermeneutika mengalami evaluasi-evaluasi serta
pengembangan yang lebih spesifik serta terus berusaha mencari kebenaran
yang pada hakekatnya berupa pendekatan-pendekatan atas kebenaran
- Pada
akhirnya interpeter tidak sanggup mengerti sepenuhnya maksut dari penulis
karena memiliki daya tangkap, pengalaman, ilmu pengetahuan, serta karakter
yang berbeda.
- Kebenaran
itu relatif, namun dengan adanya tokoh-tokoh filsafat kebenaran itu pun
memiliki standart kebenaran
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html