Sabtu, 15 Desember 2012

HERMENEUTIKA FILSAFAT ILMU


KATA PENGANTAR


Bismillahhirohmannirohim, alhamdulillah. Segala puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, sebagaimana telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami dalam penyelesaian tugas ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar. Kami juga berterima kasih kepada Bp. Muhtar Wahyudi, S.Sos, MA, selaku dosen pengapu, yang tellah membimbing kami dalam penyeleaian tugas ini.
Dengan judul makalah Aliran Hermeneutik, dan memiliki bab, diantaranya: profil tokoh, pemikiran tokoh, kritik pemikiran, kesimpulan. Makalah ini dibuat bertujuan untuk melengkapi nilai tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu, dengan Bp. Muhtar Wahyudi, S.Sos, MA, selaku dosen mata kuliah. Kami juga berterimakasih kepada rekan-rekan kami yang mendukung dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini sangat jauh dari kesempuranaan, kami selaku penyusun meminta maaf jika dalam penyebutan maupun penulisan kata dalam makalah terjadi kekeliruan. Dan kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Demi kebaikan makalah ini, dan demi kebaikan dalam penyusunan makalah berikutnya.












Bangkalan, November 2012


Penyusun

 










 

LATAR BELAKANG


Kata hermeneutika berasala dari kata Yunani: hermeneuein yang diartikan sebagai: menafsirkan dri kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Hermeneuein sendiri mengandung tiga makna yaitu: to say (mengatakan); to explain (menjelaskan); to translate (menerjemahkan). Yang kemudian ketiga makna ini diserap ke bahasa Inggris menjadi to interpet. Otomatis kegiatan interpretasi menunjukan pada tiga hal pokok yakni: an oral recitation (pengucapan lisan); a reasonable explanation (penjelasan yang masuk akal); a translation from another language (terjemahan dari bahasa lain/mengekspresikan).
Sebelum kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunanai tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada tuhan dalam bentuk mitiologi. Sebenarnya dalam itiologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagi utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Peroalan hermeneutika terletak pda pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau  makna subyektif . perbedanna penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofi, dan hermeneutika kritis. Hermeneutika teoritis, bentuk hermeneutika seperti ini meneitik beratkan kajiannya pada problem “pemahaman”,yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadia tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas. Hermeneutika filosofis, problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamanya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Hermeneutika kritis, hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. Hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebaga problem hermeneutiknya.
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: pertama milieu masyarakat yang terpengaruh    oleh pemikiran Yunani. Kedua milieu masyarakat Yahudi dan kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga milieu masyarakat eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.




PERMASALAHAN


1.     Biografi tokoh aliran hermenutika
2.     Pemikiran-pemikiran tokoh hermenutika
3.     Kriktik terhadap pemikiran tokoh
4.     Kesimpulan aliran hermeneutika


BAB 1 BIOGRAFI TOKOH


Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher


Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768 -- 1834) adalah anak seorang pendeta tentara di Silesia Utara. Kedua orang kakeknya juga pendeta. Ayahnya yang memiliki kecenderungan pietis (gerakan yang menekankan doktrin alkitabiah, kesalehan pribadi, dan kehidupan Kristen yang berkobar-kobar) yang kuat, mengirimnya ke seminar Moravian di Barby dengan harapan supaya segala kecenderungan ini akan bertambah berkembang di dalam diri anaknya.
Cukup mengherankan, dia pernah dianjurkan membaca karya Kant sebagai suatu penangkal terhadap liberalisme modern, tetapi hal tersebut memberikan reaksi yang berbeda. Dia memberikan reaksi melawan pendidikannya yang pietis.
Pada masa hidupnya kemudian, Schleiermacher menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang Moravian yang lebih tinggi. Pada saat itu, pemikirannya telah mengalami banyak perubahan, dan ia berusaha keras menggabungkan tekanan pengalaman agamawi orang-orang pietis injili dengan sikap moderat liberal terhadap kekristenan, yang dianjurkan oleh kaum terpelajar pada zamannya.
Ketika itu Schleiermacher belajar di Halle (kemudian menjadi pusat pemikiran radikal di Jerman) dan Berlin. Sesudah masa tugas sebagai seorang guru pribadi, dia kembali ke Berlin sebagai pendeta dari Rumah Sakit Charity, dan diterima di sebuah perkumpulan para penulis dan pujangga Romantik. Kelompok itu memberontak melawan pandangan-pandangan rasionalis dari Pencerahan, dan menekankan peranan misteri, imajinasi, serta perasaan. Dalam periode inilah Schleiermacher menerbitkan bukunya yang terkenal, "On Religion: Speeches to its Cultured Despisets" (1799).
Pada tahun 1804, dia kembali ke Halle sebagai seorang profesor. Tetapi peperangan Napoleon mengharuskannya untuk berdiam di Berlin, sebab perjanjian perdamaian Peace of Tilsit memutuskan hubungan Halle dari wilayah-wilayah Prusia lainnya. Di Berlin, Schleiermacher meneguhkan dirinya sebagai salah seorang dari tokoh intelektual terkemuka dari negaranya. Dia memainkan peranan terpenting dalam pembentukan Universitas Berlin tahun 1810 dan memimpin fakultas teologinya. Tetapi teologi bukan satu-satunya minatnya.
Beberapa jilid terjemahan dari Plato yang dikerjakannya untuk waktu yang lama, menjadi edisi baku di Jerman. Aliran karangan atau tulisan-tulisan yang dipelajari terus-menerus mengalir dari penanya, banyak di antaranya mula-mula muncul dalam bentuk naskah-naskah yang dipersembahkan kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Prusia (Prussian Academy of Sciences). Selama waktu itu, Schleiermacher melayani secara tetap di Trinity Church yang moderat di Berlin.
Karya-karya Schleiermacher yang dikumpulkan di Jerman setelah ia meninggal terdiri dari tiga puluh jilid (hampir terbagi rata antara khotbah-khotbah, tulisan-tulisan teologis, dan tulisan-tulisan filsafat). Ini semua mencakup sebuah buku berjudul "Life Of Jesus". Karya yang paling penting di antara semuanya adalah sebuah buku yang berusaha memaparkan secara sistematis pendekatan baru Schleiermacher terhadap kekristenan, "The Christian Faith" (1821-22, 1830-31/2).

Wilhelm Dilthey


Wilhelm Dilthey lahir pada tanggal 19 November 1833 di Biebrich am Rhein Jerman, dua tahun selah Hegel meninggal dunia. ayahnya adalah seorang pendeta Protestan di Biebrich dan ibunya adalah seorang putri dirigen dan karenaya menjadi penggemar musik juga. dilthey mewarisi sifat musikal ibunya itu dan sangat piawai dalam komposisi dan permainan piano.
Setelah menyelesaikan pendidikan lokal, Dilthey meneruskan pendidikan lanjutan di Weisbaden dan pada tahun 1852 pergi ke Heidelberg untuk belajar teologi di sana. satu tahun kemudian ia pindah ke Berlin karena ia sangat tertarik pada kekayaan budaya kehidupan di kota tersebut, dan terutama pada musik.
Selama Dilthey menjadi mahasiswa ia sangat tertarik pada karya Schleiermacher dan ia mengagumi seluruh kehidupan intelektualnya. Dilthey kagum pada Schleiermacher terutama karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya karya kefilsafatan. serta kagum pada kerya terjemahan serta interpretasinya atas dialog Plato. Bahkan tidak lama kemudian Dilthey mendapat dua piagam penghargaan atas pengetahuannya tentang Schleiermacher sehingga ia mampu membuat sebuah esai tentang hermeneutika. inilah awal mula karir Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf.
Pada tahun 1864 Dilthey memperoleh gelar Doktor dan tetap mengajar di Berlin. Namun tidak lama kemudian ia pindah ke Basel dan memperoleh kedudukan yang cukup baik di sana.
Pada tahun 1868 ia meninggalkan Basel dan menjadi Profesor pada sebuah Universitas Kiel. di Kota Keil ternyata hidupnya tidak begitu mujur, ia terlibat kasus cinta segitiga dengan Marianne dan Lotte Hegewisch. Pada tahun 1871 Dilthey pindah ke Breslau untuk menjadi guru besar di sana. Namun pada tahun 1882 ia pada akhirnya kembali ke Berlin dan disini karir kefilsafatannya menanjak. Pada tahun 1896 ia terserang penyakit yang disebutnya sendiri dengan istilah “nervous origin” serta tekanan gejala “insomnia”. Suatu hari Dilthey berlibur dan menginap di sebuah hotel di Seis di mana ia terserang infeksi dan meninggal dunia pada tanggal 30 September 1911. 

Martin Heidegger 

Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre,Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dariNationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh Aristotelesyang dikenalnya lewat teologi Kristen. Konsep tentang Ada, dalam pengertian tradisional ini, yang berasal dari Plato, adalah perkenalan pertamanya dengan sebuah gagasan yang kelak ditanamkannya pada pusaat karyanya yang paling terkenal, Being and Time(bahasa Jerman: Sein und Zeit) (1927). Keluarganya tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia membutuhkan beasiswa. Untuk maksud tersebut, ia harus belajar agama. Heidegger juga tertarik akan matematika. Ketika ia belajar sebagai mahasiswa, ia meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, karena ia menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya. Ia menulis disertasi doktoralnya berdasarkan sebuah teks yang saat itu dianggap sebagai karya Duns Scotus, seorang pemikir etika dan keagamaan abad ke-14, namun belakangan orang menduga itu adalah karya Thomas dari Erfurt.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikutfenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dariPlato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.






BAB II PEMIKIRAN TOKOH


Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).

Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan karena  pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran. Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.
Schleiermacher mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu? Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis  bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum  mengenai pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika universal (universal hermeneutics).
Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan  membentang, sehingga diperlukan  ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.


PENDEKATAN SCHLEIERMACHER
Istilah teologi natural pada dasarnya merupakan suatu jalan buntu ke arah mana Schleiermacher tidak mau berspekulasi. Kant mengungkapkan alasan-alasan muluk tentang teologi-teologi itu, namun alternatif Kant sendiri lebih baik. Itu bukanlah agama yang riil dan hidup. Sebaliknya, Schleiermacher merasa bahwa dia tidak dapat lagi membicarakan Alkitab sebagai suatu kisah mengenai campur tangan Ilahi dan sekumpulan ucapan Ilahi, tetapi lebih merupakan catatan pengalaman agamawi.
Ide mengenai pengalaman agamawi merupakan kunci yang digenggam Schleiermacher dengan kedua tangannya. Nampaknya, bagi dia hal ini bisa membuka kunci setiap masalah teologis (kecuali yang tiba-tiba muncul di dalam diri kita, yang bagaimanapun tidak dapat dipecahkan oleh pikiran manusia). Itu berarti bahwa dia tidak perlu lagi menerima Alkitab dengan serius secara terperinci. Hal itu nampak seperti membukakan suatu pintu baru untuk apologetika dengan memimpin baik orang yang percaya maupun yang tidak percaya kepada dasar-dasar permufakatan (yang dapat diterima bersama) dari pengalaman-pengalaman umum mereka.
Maka apa yang diupayakan oleh Schleiermacher adalah menganalisa pengalaman agamawi dan mengentalkannya menjadi esensi agama. Setelah melakukan hal ini, maka dia dapat menginterpretasikan kembali iman Kristen dalam pengertian yang dapat diterima oleh orang modern, baik yang berada di dalam maupun yang di luar gereja.
Agama mencakup segala hal. Ada tindakan-tindakan agama, seperti mengambil bagian di dalam ibadah dan berbuat baik. Juga ada unsur pengetahuan yang boleh dikelompokkan di bawah pokok teologi (baik ceramah pelajaran maupun cerita Alkitab di sekolah minggu). Schleiermacher menyimpulkan bahwa esensi agama bukanlah kegiatan maupun pengetahuan, melainkan sesuatu yang umum terhadap keduanya.
Di dalam "Speeches" dia mendefinisikan hal itu sebagai "pengertian dan perasaan terhadap Yang Tidak Terbatas". Pada waktu dia mulai menulis "The Christian Faith", dia dapat menjelaskannya sedikit lebih teliti:
"Unsur umum di dalam semuanya, biarpun pengungkapan kesalehan bermacam-macam ... ialah: kesadaran akan perasaan bergantung secara mutlak, atau, yang sama seperti itu, kesadaran berada dalam hubungan dengan Allah. Esensi agama terletak di dalam perasaan bergantung mutlak (sense of absolute dependence) di dalam diri kita."
Di dalam diri Schleiermacher, ide ini menjadi suatu persamaan pengalaman agamawi dan juga suatu tongkat pengukur untuk menilai semua pengajaran Kristen lainnya. Dilengkapi dengan hal itu, Schleiermacher mulai menafsirkan kembali seluruh jajaran doktrin Kristen. Dia meringkaskan pendekatannya terhadap natur Allah dengan mengatakan, "Semua atribut yang kita anggap berasal dari Allah diperlukan bukan untuk menunjukkan sesuatu yang khusus di dalam Allah, melainkan perasaan bergantung mutlak yang dikaitkan dengan Dia.
"Dosa ditafsirkan dengan cara yang sama. Dosa bukan begitu banyaknya pelanggaran terhadap hukum Ilahi, dosa adalah natur manusia yang lebih rendah yang menginginkan kebebasan pada waktu ia seharusnya terikat. Itu merupakan sesuatu yang menyelimuti perasaan bergantung mutlak di dalam diri kita. Di dalam bentuk ekstrimnya, boleh dikatakan "keadaan tanpa Allah (Gottlosigkeit), atau, lebih baik, keadaan melupakan Allah (Gottvergessenheit)". Penebusan ditafsirkan sebagai pemulihan akan perasaan bergantung kita.
Maka Penebus sama seperti semua manusia lainnya dalam kebajikannya, namun berbeda dari mereka karena tetapnya potensi kesadaran-Nya akan Allah, yang benar-benar merupakan eksistensi Allah di dalam diri-Nya.
Dengan perkataan lain, kita tidak berpikir tentang Yesus sebagai manusia-Allah di dalam iman ortodoksi Kristen, Firman Ilahi yang mengambil natur manusia bagi diri-Nya sendiri. Yesus adalah seorang manusia yang berjalan demikian dekat dengan Allah sehingga Anda dapat berkata bahwa Allah tinggal di dalam Dia.
Karya penebusan Yesus adalah menarik "orang-orang yang percaya ke dalam kuasa kesadaran-Nya akan Allah". Itu bukanlah menanggung dosa-dosa mereka demi mereka, melainkan begitu menggerakkan manusia sehingga "prinsip atau pendirian dasar-Nya kita miliki juga". Schleiermacher tetap memakai beberapa istilah teologi Kristen yang lebih kuno, tetapi ia memberikan arti yang diperluas atau hampir diubah sama sekali. Maka pengajarannya mengenai pendamaian tetap mengandung beberapa kemiripan dengan ortodoksi Protestan. Dia tetap dapat menulis, "Penerimaan ke dalam hidup persekutuan dengan Kristus berkenaan dengan perubahan hubungannya dengan Allah.
Dengan perkataan lain, pendekatan Schleiermacher mengarah kepada suatu bentuk Unitarianisme. Dia percaya akan Allah. Sebab Allah merupakan tempat di mana kita merasa bergantung. Tetapi Yesus adalah seorang manusia yang memunyai pengalaman tingkat yang sangat tinggi, dan Roh Kudus benar-benar merupakan cara menggambarkan pengalaman kita akan Allah di dalam gereja.

Wilhelm Dilthey (1833-1911)

Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad  ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason.
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.

Martin Heidegger (1889-1976)


Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Arisoteles yang diinterpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenlogis, mesikipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yan dibanun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologi karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang keasdaran sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjarakan realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya relaitas sendiri yang menelanjangi dirinya dihadapan subjek. Bagi Heidegger, relaitas tidak mungkindipaksa untuk menyingkapkan diri. Relaitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.
Heidegger mengembangkan hermeutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalm pendangan Heidegger, pemahaman bukanlah sebuah metode. Menurutnya, pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman teleh wujud terlebih dahulu (pre-reflective undersanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menanamkan prapemahaman tersebut sebagai dasain, yang secara harfiah berarti disana-wujud.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam penegrtian pemahaman yng subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan relitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manuasia yang menyingkapa selubung Ada (sein). Ia tidak berada dalam penegertian subjek-objek, dimana pemahaman tentang objek begkat dari persepsi kategoris salam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab dasein adalah seinde yang memilki kemampuan yang lain. Dikatakan dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diinterpretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkaan sama sekali.intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadai anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah dasein itu sendiri. Berpikir, dalam penegrtian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Heidegger menghubungkan kajian tentang makana kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensiyang berhubungan dengan orang dan objek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensialdan terus-menerus.
Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, anatara ada atau tidak. Eksistensi,menurut Heidegger bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapakan pengalaman eksistensinya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagi unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagi alat komunikasi saja. Bahsa merupakan artiklasi eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan,kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahsa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantah Ada itu sendiri.
Hermenutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermenutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermenutika pada tataran ontologis.








BAB III KRITIK


Scehleiermacher

  • Pemikirannya terlalu mendalam terhadap kajian teks, yaitu hingga mencoba memahami mental pengarang bahkan memahami dengan lebih baik dari pengarangnya.  Hal tersebut akan cenderung bersifat subjektif  karena setiap individu memiliki kecondongan intrepetasi yang berbeda

Wilhem Dilthey

  • Pemikirannya  meluas dan mnangkup berbagai aspek disiplin ilmu dengan hermeneutika sebagai fondasi, namun menurutnya “intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang” hal ini dirasa kurang subjektif karen a cnderung memihak pada pengarang

Martin Heidegger

  • Ia mengembangkan hermeneutika sebagai intrepetasi yang berdimensi ontologis. Lebih berorientasi kepada pemaknaan daripada pemahaman, meskipun lebih objektif  namun dimungkinkan hal ini akan menghasilkan info yang implisit

BAB IV KESIMPULAN


  • Dari pemikiran tokoh-tokoh memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu tentang penafsiran teks. Dimana hermeneutika mengalami evaluasi-evaluasi serta pengembangan yang lebih spesifik serta terus berusaha mencari kebenaran yang pada hakekatnya berupa pendekatan-pendekatan atas kebenaran
  • Pada akhirnya interpeter tidak sanggup mengerti sepenuhnya maksut dari penulis karena memiliki daya tangkap, pengalaman, ilmu pengetahuan, serta karakter yang berbeda.
  • Kebenaran itu relatif, namun dengan adanya tokoh-tokoh filsafat kebenaran itu pun memiliki standart kebenaran








DAFTAR PUSTAKA



1 komentar:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Martin Heidegger, dia bilang: ‘Pengungkapan dapat terjadi secara otentik, tanpa serangkaian kecenderungan. Entitas pada awalnya terwujud tetapi tetap tersembunyi dalam apa yang paling otentik.’
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/10/wawancara-dengan-martin.html

    BalasHapus